HAMRAN AMBRIE

Sekilas siapa Hamran Ambrie dalam sejarah Kalimantan Selatan

Home
My Life
Sharing My Faith
A Memory
Comments
My Books
Surat DGI kepada Kejaksaan Agung
Dukungan Delegasi Nehemia
Sekilas siapa Hamran Ambrie dalam sejarah Kalimantan Selatan
Kliping Harian "UTAMA"
Contact Me (under Construction!)

Kliping Harian Banjarmasin Post, Senin, 2 Februari 1981

scan0003.jpg

”Nostalgia 35 Tahun Lalu : TROMPET RAKYAT Surat Kabar Perjuangan.

Oleh : Anggraini Antemas

Sudah banyak ditulis orang tentang sejarah dan pertumbuhan pers di Kalimantan Selatan ini. Baik yang mengenai pertumbuhan pers sebelum perang/jaman Hindia Belanda itu diturunkan oleh rekan kami H. Hadhariah M.H Arsyad Manan (alm), Mustafa (alm) Artum Arta dll, maupun per republikein sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Hal itu cukup menarik perhatian untuk dicatat sebagai dokumentasi sejarah perjuangan, bahwa pers daerah pun punya andil dalam pembangunan Negara dan Bangsa yang kita cintai ini.

Namun sebegitu jauh, orang tidak banyak mengetahui tentang bagaimana tunas-tunas pers nasional itu bertumbuh di Amuntai, ibukota Kebupaten Hulu Sungai Utara yang justru awal hidupnya. Mempertahankan Negara Republik Indonesia yang baru diproklamirkan masa itu.

Sekali-sekali orang pernah terbaca tentang adanya surat kabar Republikeins yang pernah terbit di tahun-tahun revolusi fisik di kota Amuntai, yaitu surat kabar “Trompet Rakyat” di bawah pimpinan redaksi Hamran Ambrie dan Yusni Amtemas. Bahkan disebut-sebut itulah “trio Koran” yang paling berani jaman itu di Kalimantan Selatan, yang menghantam kebobrokan penjajahan Nica/Belanda, yaitu majalah “Republik” (lahir 17 Agustus 1946) di bawah pimpinan Zafry Zamzam di Kandangan, harian “Kalimantan Berjuang” (lahir tanggalnya terlupakan) di bawah pimpinan Haspan Hadna di Kandangan, dan harian “Trompet Rakyat” (lahir 2 Desember 1946) di bawah pimpinan Hamran Ambrie dan Yusni Amtemas di Amuntai.

Sampai dimana kebenaran nilai perkataan itu, biarlah tak perlu ditulis oleh karena ia menyangkut diri penulis ini sendiri. Tapi yang jelas, apabila di saat itu ada wartawan atau mass media yang berani mengecam/ mengkritik politik penjajahan Belanda, maka tantangannya ialah rumah penjara atau siksaan militer Belanda. Dan ternyata menjadi bukti, bahwa wartawan-wartawan dari ketiga media tersebut seperti Zafry Zamzam, Haspan Dadna, Hamran Ambrie dan Yusni Antemas, adalah tercatat sebagai”zwaarte journalist” (wartawan hitam) yang hidupnya keluar masuk tahanan Belanda dan selama 3 tahun itu menjadi langganan penjara dan tawanan penjajah. Ditangkap dan ditahan karena tulisannya yang dianggap membahayakan bagi pemerintah colonial masa itu.

Maka dalam hubungan inilah, kita coba mengungkapkan sedikit catatan usang dari suatu daerah kecil yang tak ada artinya dari sudut kawasan Kalimantan Selatan yang luas ini, yaitu kota Amuntai, dimana dulu pernah diterbitkan harian Republikein”Trompet Rakyat” yang pernah menghebohkan militer Belanda, di saat-saat serius dan berbahaya itu.

LAHIRNYA “TROMPET RAKYAT”

Baru setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, di kota Amuntai pada tahun 1946 itu diterbitkan harian “Trompet Rakyat” dan bulanan “Menara Indonesia”, keduanya dipimpin oleh wartawan-wartawan Hamran Ambrie dan Yusni Amtemas.

Kedua mass media ini hanya dicetak stensilan, merupakan trompet perjuangan Republikein dari gerakan rahasia bersenjata “Gerpindom” (Gerakan Pengejar/ Pembela Indonesia Merdeka), yang secara diam-diam beroperasi di daerah ini sejak tahun 1945. Di halaman depan surat kabar ini secara tandas terpasang motto: “Berhaluan Mempertahankan Republik Indonesia”, dengan penjara pojoknya yang terkenal “Abang Betel”.

Harian “Trompet Rakyat” nomor pertamanya diterbitkan pada hari senin 2 Desember 1946, tepat disaat-saat sedang hangatnya separatisme Belanda mempersiapkan konperensi Denpasar. Lima hari setelah penerbitan tersebut, meletuslah aksi Belanda di Makasar yang terkenal dengan nama “7 Desember Divisie” atau peristiwa korban 40.000 jiwa oleh Westerling.

Belanda melakukan operasi pembersihan dimana-mana termasuk di Kalimantan Selatan. Bayangkan oleh anda, disaat demikianlah 3 surat kabar paling berani memberitakan dan mengecam kekejaman Belanda waktu itu, ialah “Republik”, “Kalimantan Berjuang” dan “Trompet Rakyat”.

Ketiganya terbit di hulu sungai, padahal waktu itu di Banjarmasin juga sudah ada diterbitkan surat kabar lain, tapi suaranya adalah mineur memihak penjajah. Tak ada yang berani berkutik memihak Republik, apalagi yang berani tegas-tegas mencantumkan motto di bawah kop surat kabarnya “Berhaluan mempertahankan Republik Indonesia”.

Surat kabar “Trompet Rakyat” kemudian disusul oleh kelahiran adik kandungnya, majalah tengah bulanan “Menara Indonesia” yang juga diasuh oleh tenaga yang sama.

Pada mulanya tidak ada dijual eceran, kecuali hanya untuk para langganan. Tetapi karena banyaknya permintaan, akhirnya eceran juga diterbitkan, sehingga wktu itu pasaran Koran di Banjarmasin berhasil direbut oleh “Trompet Rakyat” dengan harga dua kali lipat. Agen penjual ecerannya di Banjarmasin ialah sdr. Muhammad Ys, yang sekarang masih segar bugar di sungai jingah, siapa juga di tahun 1946 itu pernah mendapat peringatan keras dari pihak kekuasaan Belanda, karena aktivitasnya menjadi agen surat-surat kabar Republikein.


Kedua mass media ini diterbitkan di daerah kekuasaan/ pendudukan Belanda. Namun setiap terbitnya ia adalah menjadi terompet perjuangan Republik Indonesia, menyiarkan berita-berita medan pertempuran di Jawa, Sumatera dll, yang sumber beritanya secara monitoring diambil dari siaran-siaran “Radio Pemberontak/Bung Tomo” di Jawa Timur dan pemancar-pemancar gelap lainnya. Tetapi justru berita-berita semacam ini yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

Penerbitan tersebut diselenggarakan secara kekeluargaan, tetapi penuh semangat dan tanggung jawab, meskipun sebenarnya tidak menghasilkan keuntungan material, kecuali hanya penuangan semangat juang yang berkobar-kobar dari para pengasuhnya. Pimpinan redaksi sdr Hamran Ambrie alias “Abang Betel” betul-betul pekerja serba guna. Dari pimpinan redaksi sampai tukang putar roneo, plus tukang temple prangko buat langganan. Masih segar dalam ingatan, ketika pada tahun 1946-1947 itu surat kabar ini yang berkantor di jalan Pasar (dulu terkenal dengan nama “Rumah Lima”) yang sekarang dengan nama jalan Abdulazis. Rumah itu tempat kediamannya sdr Hamran Ambrie dengan istrinya Syamsiah Dahlan beserta keluarga.

Redaksi di bawah pimpinan Hamran Ambrie, dengan wakil pimpinan sdr Yusni Antemas (sekarang : Anggraini Antemas), pembantu redaksi Badrun Arsyad, Ahmad Saminie, tenaga tata usaha sdr Ahmad Yusran, illustrator Bihman Villa (alm), pembantu-pembantu lainnya sdr. Syamsul Anek, Ahmadan H.A. Halim, sedang sebagai pimpinan usaha keuangan adalah sdr. H. Muhammad Idris Tangga Ulin.

Dengan tulisan-tulisan yang tajam di tajuk rencana, maupun berita-berita dan isi pojokannya sesuangguhnya surat kabar ini “terlalu” berani menghantam sana sini segala kebobrokan politik penjajahan waktu itu. Editorial dan kecaman-kecamannya tanpa tedeng aling-aling, tegas memihak perjuangan rakyat yang pro republik.

MENOLAK TAWARAN DAN AKIBATNYA

Pada suatu kali, dipanggillah sdr.Hamran Ambrie dan Yusni Antemas (masing-masing sebagai peminpin Redaksi/ Penanggung Jawab dan Wakilnya) dari harian ini, ke kantor Kiai Kepala Amuntai yang waktu itu dijabat oleh H. Muhammad Halid (alm).

Ternyata kedua wartawan ini dihadapkan dengan paduka Kiai Besar dari Kandangan (Merah Nadalsyah) dan di dalam suatu pertemuan yang “agak rahasia” itu dilakukanlah nunjukkan agar kedua wartawan ini mengurangi aktifitasnya sebagai wartawan Republikiens.

Kepada Hamran Ambrie dan Yusni Antemas ditawarkan “bantuan tetap” berrupa uang dan barang dalam jumlah “lumayan” yang berasal dari pemerintah Belanda, asal saja mereka mau menghentikan penerbitan harian “Trompet Rakyat” tersebut. Atau setidak-tidaknya merobah haluannya menjadi harian pro Belanda, dan bekerja sama pada sebuah surat kabar Belanda yang waktu itu telah terbit di Kalsel.

Namun ajakan ini dijawab dengan tegas oleh mereka : “Terima kasih, kami belum dapat menerimanya”, Karuan saja hal ini telah mengecewakan pihak yang mengajak, justru pihak yang berkuasa pada waktu itu. Apabila yang berkuasa telah dikecewakan, maka orang telah bisa meramalkan, apa yang bakal jadi resikonya. Tak lama setelah itu, maka terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan bagi golongan “Kuli tinta” (wartawan) di kawasan Hulu Sungai waktu itu. Untuk objektifnya tulisan ini, kita kutip saja berita harian “Masyarakat Baru” terbitan Samarinda yang memuat berita peristiwa tersebut sebagai berikut :

REDAKTUR “TROMPET RAKYAT” MENDAPAT PUKULAN DARI MILITER. Samarinda (MB).

Tuan Antemas, redaktur “Trompet Rakyat” di Amuntai (surat kabarnya Abang Betel. Pen) sewaktu bepergian ke Tanjung baru-baru ini tgl. 6 Mei 1947, setelah mengetahui bahwa ia adalah seorang wartawan, oleh pihak militer di tempat tersebut dipukul dengan cara yang sangat menusuk perasaan.

Berhubung dengan kejadian yang tidak pantas ini, maka Hoofd redacteur dari surat kabar itu (Tuan Hamran Ambrie. Pen) mengirim kawat kepada tuan-tuan Resident dan Auditeur Militer di Banjarmasin, memprotes kejadian itu, yang berbunyi kawatnya sbb: “Sangat menyesali tindakan militer Tanjung atas terjadinya pemukulan dan ancaman pada Antemas, anggota redaksi kita yang tidak ada beralasan kesalahan selain dari karena kedudukannya sebagi redaktur surat kabar. Mengharap tindakan Paduka”.

Kabar belakangan menyatakan bahwa di pihak yang berwajib berjanji untuk memeriksa ini lebih jauh”.

Demikian guntingan harian “Masyarakat Baru” Samarinda yang dipimpin oleh sdr> Oemar Dachlan, yang hingga kini masihtetap aktif menulis sebagai wartawan senior.

HIJRAH TERBITNYA KE ALABIO

Karena keadaan pasang surut yang tidak terelakkan, berupa tekanan-tekanan dari pihak penguasa Belanda maka pada tahun 1947 itu penerbitan diterbitkan di kota Alabio, karena sdr. Hamran Ambrie pimpinan redaksinya juga berpindah domisili ke sana. Di sini ia mendapat tambahan tenaga redaksi sdr. Nawawi Z, dan dapat terbit secara darurat karena kekurangan modal, sehingga sampai pada tamat riwayatnya dengan suatu “persbreidel” (larangan terbit) oleh Pemerintah Belandayang berkuasa waktu itu.

Usaha untuk menerbitkannya kembali dengan nama lain, ternyata belum berhasil, sampai ketika meletusnya clash ke II terhadap Republik Indonesia (19 Desember 1948), pimpinan redaksinya sdr. Hamran Ambrie dan Yusni Antemas ditangkap kembali dan dijebloskan ke dalam pengasaingan/ tawanan militer Belanda di dekat lapangan udara “Ulin” (sekarang Syamsudin Noor), sehingga rencana penerbitan kembali harian itu gagal total sama sekali.

Akan tetapi meskipun surat kabar harian tersebut telah dibrangus oleh penguasa, namun usaha menerompetkan perjuangan membela Proklamasi 17 Agustus 1945 itu tak pernah padam-padamnya.

Waktu itu gerakan rahasia bersenjata “Gerpindom” sebagai penerbit rahasia dari almarhum “Trompet Rakyat” dan “Menara Indonesia”, setelah “Gerpindom” menggabungkan diri ke dalam “ALRI Divisi IV “A” Kalimantan”, dan markas-markas daerahnya telah terbentuk di pedalaman Amuntai, maka dari pedalaman B.N. 5/s ‘Kuripan jaya” diterbitkanlah surat kabar mingguan Republikien yang bernama “Obor Perjuangan” di bawah pimpinan sdr. Yusuf Hamdi, Hairul Lima, Darfa’i dan beberapa tenaga gerilyawan lainnya. Surat kabar ini hanya dicetak dengan mesin tulis biasa diatas kertas door slag, tapi isinya cukup tajam dengan kritik dengan berita-berita perjuangan. Tidak kurang hebatnya dengan keberanian saudara kandungnya yang telah almarhum :”Trompet Rakyat”.

Pihak penjajah menjadi gempar dengan terbitnya Koran gerilya ini yang disiarkan ke tengah-tengah kota. Namun Belanda tak dapat menyita ataupun memberangus Koran yang satu ini, karena staf redaksi “Obor Perjuangan” berada di markas gerilya jauh di pedalaman “Kuripan Jaya”. Koran gerilya ini berakhir terbitnya ketika para gerilyawan ALRI Div. IV turun ke kota secara resmi setelah melalui perundingan/ gencatan senjata.

Menjelang hari-hari kemenangan gerilyawan ALRI Div. IV itu, yakni dengan kehadirannya Jendral Mayor Suhardjo dari RI ke banjarmasin, ketika para tahanan/tawanan dibebaskan Berlanda, maka termasuklah beberapa wartawan Republik yang turut bebas, yaitu sdr. Zafry Zamzam (Republik), Adonis Samat, Haspan hadna, Arsyad manna (ketiganya dari Kalimantan Berjuang), Yusni Antemas dan Hamran Ambrie (Trompet Rakyat). Semua wartawan yang senasib sepenanggungan ini setelah di luar kemudian menggabung diri bekerja/ memperkuat harian “Kalimantan Berjuang” satu-satunya media massa Republikein yang masih terbit di Banjarmasin, kecuali hanya sdr. Hamran Ambrie yang bekerja pada harian “Pengharapan”. Untitled 1

scan0001.jpg

Pada halaman 35 buku "Kisah Gerilya Kalimantan":

scan0002.jpg

Kutipan dari Harian Banjarmasin Post dan Buku "Kisah Gerilya Kalimantan" menyatakan bahwa Hamran Ambrie adalah salah seorang pelaku sejarah yang berasal dari Amuntai, Kalimantan Selatan.

Berikut beberapa tulisan harian "UTAMA" mengenai Hamran Ambrie :

--------------------------------------------------------------------------------------
Komentar, kritik, saran, ide? Kirim ke:
Comment, Critics, sugest, idea? mail to:
hamran2007@yahoo.co.id